(savanaews.com)
Mataram - Perkembangan konten informasi dalam ragam bentuk terus memenuhi
hampir seluruh ruang publik di bilik kehidupan sosial hingga bilik pribadi kita
setiap harinya. Perkembangan teknologi media begitu pesat dan membuat proses
penyebaran informasi tak terbendung
tanpa tersaring oleh kaidah kaidah jurnaltik secara normatif.
Belakangan
konten media mainstream (media cetak dan elektronik) sebagai acuan dasar
informasi pun mulai gamang dan terkesan partisan karena mulai ditingalkan
pembaca dan pemirsanya. Hal tersebut dikarenakan mulai bergesernya selera dan
iklim warga memperoleh informasi saat ini yang mulai mengandalkan teknologi
media yang lebih cepat dan bisa diakses secara mudah.
Salah
satu penyebabnya adalah dimulai dari revolusi teknologi internet sekitar tahun
2000 lalu yang memberi ruang seluas luasnya bagi seluruh warga dunia untuk
membuka akses dan jaringan informasi mereka secara masif. Kehadiran media maya berbalut teknologi
mutahir itu menjadi titik awal dimulainya transformasi media milenial dalam
ragam produk yang kita bisa akses dengan mudah dewasa ini.
John
Lloyd seorang jurnalis harian Financial Times telah meramalkan surutnya peran
media mainstream dan berpindah ke media internet akan menjadi fenomena baru
dalam perkembangan pluralism media masa kini sekaligus menjadi tantangan besar
yang akan berdampak signifikan pada industri media nantinya.
Sebut
saja beberapa diantaranya produk media sosial hari ini seperti youtube, facebook, blog, twiter ,
instagram dalam dalam ragam tampilannya
telah berkembang menjadi sumber pusat
informasi global yang bisa diakses tanpa batas serta bisa diatur sesuka hati
sesuai dengan kepentingan pengunggahnya.
Hari
ini siapa saja bisa mengupdate dan menyebarkan informasi baik teks tulisan
ataupun video melalui akun pribadi miliknya tanpa harus tersekat dan diatur
oleh proses editing atau standar tertentu yang telah diatur dalam ranah media
konvensional pada umumnya. Hal inilah yang menjadi titik awal mulai
berkembangnya isu dan ragam informasi palsu yang akrab di sebut “hoax”.
Pesatnya
penyebaran informasi yang berdasar pada sumber yang tidak jelas itulah yang
menjadikan rentan terjadi konflik sosial, serta pergeseran nilai informasi itu
sendiri di tengah masyarakat.
Pada
dimensi ini, para pemangku kebijakan sebenarnya telah melakukan langkah
preventif penyebaran informasi palsu tersebut, mulai dari aturan yang dirilis
dewan pers tentang standarisasi dan verifikasi media, serta perangkat hukum
untuk menjerat para penyebar informasi bohong dengan Undang Undang ITE
(informasi Transaksi Elektronik_Read)
yang telah diundangan pada tahun tahun 2018 ini.
Namun
tentunya itu saja belum cukup. Peran sentral semua elemen masyarakat mulai
pelaku media, pembaca dan pengguna sosial media, untuk berkomitmen memerangi segala bentuk
informasi yang meragukan dengan standarisasi tertentu, misalnya selalu
melakukan cek dan ricek terhadap informasi yang masuk, serta tidak cepat
percaya dengan selalu mencari sumber akurat untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkannya.
Saat
ini kearifan para pelaku media untuk mau membuka ruang klarifikasi, verifikasi
serta investigasi secara cermat untuk mencari data akurat sebuah informasi yang
beredar, menjadi “kunci” sukses dan tidaknya sebuah proses transformasi
informasi faktual di tengah perkembangan multimedia saat ini.
Media
yang sehat adalah media yang mampu memanfaatkan perkembangan multimedia secara
efektif untuk kebutuhan publikasi dan menyebar informasi akurat, dengan tetap
melakukan literasi secara cermat agar tidak terjebak pada polarisasi
kepentingan absolut yang menggurita dalam bisnis media belakangan ini.(*)
0 Comments