Breaking News

Menyoal “THR” Media Dalam Perspektif Tradisi Ketimuran

Riadis Sulhi (Ketua IJTI NTB)

(Savananews.com) Mataram – Mendekati perayaan hari raya, ada istilah yang akrab ditelinga kita yang justru ramai dinanti segala kalangan baik di lingkup birokrasi, perusahaan swasta hingga dalam lingkungan terkecil sekalipun, yang direduksi dengan sebutan THR (tunjangan Hari Raya) yang diadopsi dari bentuk pemberian, penghargaan atau wujud ikatan tali asih (ikatan emosional) dalam hubungan industrial modern, antara instansi perusahaan dengan karyawan, antara bos dengan anak buah berupa uang atau barang ( baca bingkisan).

Selain ramai ditunggu, perbincangan tentang kapan cairnya THR itu menjadi viral yang kerap dideskripsikan dalam ungkapan lucu  (berupa gambar, karikatur hingga cerita pendek) di media sosial dalam group whats up, twiter, instagram hingga facebook  yang ada smartphone pribadi kita. Misalnya dengan ‘meme’ seorang pegawai berseragam instansi tertentu berplakat nama bertuliskan TEHAER di dada kanan, atau dipelesetkan dalam gambar kocak oleh para nitizen dalam percakapan dua orang petugas pemantau  hilal menggunakan teropong, dengan komentar “THR masih belum terlihat, tertutup awan tebal” dengan jawaban “sabar lebaran masih jauh”. 

Ramainya pembahasan THR dalam dunia nyata dan dunia maya menjelang perayaan hari besar menggambarkan betapa masyarakat kita sejak lama melegalkan segala bentuk pemberian sebagai ungkapan silaturrahmi dan juga hubungan emosional di segala lapisan masyarakat yang masih kental dengan adat ketimurannya. Hal tersebut terbukti dengan kebiasaan memberi sesuatu dalam islam yang kerap disebut ‘Hol’ (berbentuk uang) kepada seseorang sebagai hadiah, atau imbalan karena telah melakukan sesuatu untuk tujuan kebaikan dan  dalam rangka mempererat silaturrahmi antar sesama muslim, bukan untuk menyuap.

Istilah pemberian juga kita kenal membudaya dalam perspektif yang berbeda misalnya biasa disebut “ angpao” bagi warga keturunan Tionghoa saat merayakan imlek dan hari besarnya. Tujuannya satu yakni menjaga hubungan kekrabatan serta sebagai ungkapan sukacita atas berkah serta rejeki yang melimpah dari sang pencipta, sekali lagi ini juga sangat jauh dari istilah ‘suap’.  Dua contoh ini menunjukkan bahwa tradisi memberi (dalam artian positif) telah ada dalam masyarakat kita dan tetap lestari hingga hari ini.

Mengutip bahasan Jendral TNI Gatot Nurmantyo (Mantan Panglima TNI) saat memberikan ceramah di hadapan ratusan jurnalis peserta ‘Sail Tourism HPN 2015’  rute pelayaran Surabaya-Lombok di atas kapal perang KRI Makasar sebagai rangkaian peringatan Hari Pers Nasional yang digelar di Lombok kala itu, Gatot menuturkan sebagai dampak globalisasi dan kemajuan teknologi khusus berbasis internet maka terminologi konsep maupun karakteristik perang telah bergesar dari konvensional (perang fisik) menjadi perang proksi (proxy war). sebuah peperangan baru peradaban modern, salah stunya adalah perang budaya antara Timur dan Barat yang riskan untuk menghilangkan budaya dan tradisi ketimuran kita sebagai bangsa Indonesia.

Saat itu jenderal bintang empat tersebut berpesan kepada jurnalis agar tetap mempertahankan rasa kebersamaan, solidaritas, gotong royong dan tolong menolong sebagai tradisi adat ketimuran yang kental sebagai penangkal dampak modernitas yang dikhawatirkan berimbas pada hilangnya budaya dan adat istiadat itu secara masif.

Jendral Gatot kala itu mencontohkan bagaimana jiwa gotong royong warga masyarakat apabila ada tetangga atau saudara sekampung menggelar hajatan, dengan tanpa diminta seluruh elemen masyarakat tanpa dikomando akan tergerak untuk membantu semampunya, baik dengan barang, tenaga hingga uang sebagai ungkapan solidaritas dan ikatan emosional yang kuat satu sama lain.

Kini budaya luhur itu menurut Gatot dikhawatirkan terkikis dan berganti dengan budaya individual dan pragmatis dibalut pemikiran sekuler, yang sebenarnya bukan merupakan jati diri masyarakat ketimuran, namun justru diadopsi dari budaya barat.  Saat itu jendral Gatot mengajak semua Jurnalis untuk tetap mempertahankan budaya ketimuran sebagai benteng untuk menangkis proses pengikisan budaya di masyarakat kita. 

“Budaya memberi atau  saling membantu secara wajar bukanatas kepentingan apapun, karena adanya unsur ikatan emosional, misalnya antara saya dengan wartawan, itu lazim dan memang bagian dari budaya ketimuran kan itu,  nah kalo itu dilarang, tidakkah itu bagian dari penghapusan budaya luhur kita,” tegas Gatot saat itu. 

Istilah Tunjangan Hari Raya (baca THR) merupakan hak pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (Permenaker 4/1994).  Dari sini kita ketahui bahwa THR merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh pengusaha kepada pekerja, atau oleh seorang bos kepada anak buahnya  menjelang Hari Raya Keagamaan. 

Jika dikerucutkan dalam konteks perusahaan pers, sukacita menyambut THR tersebut ternyata tidak seluruh nya bisa dirasakan oleh para pekerja pers yang  justru belum seluruhnya bisa merasakan berkah tersebut dari perusahaan nya masing masing. Istilah THR saat ini hanya diberikan oleh perusahaan media mapan bersekala besar kepada para seluruh pekerja medianya, sementara bagi perusahaan media kecil, kerap kali ungkapan tali asih ini terabaikan karena alasan ketidakmampuan perusahaan pers untuk membayarkan kewajiban itu. 

Inilah potret perusahan pers di Indonesia saat ini yang menyebabkan para insan pers  harus ‘gigit jari’ karena tidak mendapatkan tunjangan hari raya. Patut diduga Kondisi inilah akhirnya yang ‘memaksa’ oknum  pers (maaf tidak semuanya) terkadang menggunakan ‘jalur tol’ dengan menjaring THR dari para narasumber atas dasar ikatan emosional.  

Fenomena ini tentunya harus menjadi perhatian kita bersama untuk mendesak perusahaan pers agar membayarkan kewajiban setahun sekali berupa pemberian THR kepada para karyawan atau pekerja pers agar amanat undang undang bisa terlaksana dan tidak blunder menjadi sebuah upaya ‘penghakiman’ terhadap pekerja media yang rela menggadai integritas dan martabatnya untuk mendapatkan haknya sebagai pekerja  yang sebenarnya tidak terlalu besar juga secara financial, karena hanya diterima setahun sekali dengan bsesaran kira kira satu kali gaji.

Berangkat dari pemikiran diatas, kita mesti menyambut baik himbauan Gubernur NTB Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA baru baru ini yang  mengimbau seluruh jajarannya di  Sekretariat Daerah (Setda) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mematuhi surat edaran Dewan Pers terkait imbauan agar tidak memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis karena diistilahkan sama dengan amplop yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik, dengan asumsi THR merupakan kewajiban perusahaan pers bukan kewajiban OPD ataupun instansi pemerintahan untuk memenuhinya.

Pernyataan Gubernur tersebut sesuai surat Dewan Pers Nomor: 264/DP-K/V/2018 tentang Imbauan Dewan Pers Menjelang Idul Fitri 1439 H, terkait dorongan agar jurnalis menjaga sikap moral dan etika demi kepercayaan publik dengan tidak meminta uang atau bingkisan hari raya.

Menurut Gubernur  sikap tegas instansi pemerintah tidak memberikan THR atau dalam bentuk amplop, akan berkontribusi membangun pers yang  selama ini dicita citakan. Yakni tentang  pers yang independen, berintegritas dan selalu objektif.

Langkah ini perlu diapreseasi bijak seluruh insan pers di NTB sebagai sebuah terobosan baru untuk bersama bersepakat menolak  proses ‘pelemahan’ peran dan fungsi kontrol pers terhadap kebijakan publik, yang salah satunya disinyalir dari ‘pemberian’ berupa THR atau tali asih berupa barang atau uang kepada para awak media, yang pada hakikatnya selama ini tidak pernah ada, apalagi ‘ditradisikan’ secara masif secara terencana hingga menguras kas daerah.

Sejatinya himbauan orang nomer 1 di NTB tersebut  sudah sepatutnya harus dibarengi dengan niat tulus untuk memaksimalkan dorongan untuk pemberian THR kepada awak media oleh perusahaannya, sesuai penjabaran Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang selaras dengan permenaker Nomor 6 tahun 2016. yakni dengan terjun langsung secara masif melibatkan steakholder terkait untuk mengawasi proses tersebut sebagai bentuk dukungan menjaga pers yang berintegritas yang selama ini dicita citakan.

Dalam dataran normatif,  pers yang berintegritas sejatinya memang harus tunduk dan patuh pada aturan kode etik, yang salah satu intinya adalah menolak segala bentuk suap (baca amplop) dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Namun hal tersebut juga perlu didorong dengan regulasi yang baik  dan langkah nyata dari pemerintah bersama dewan pers sebagai intitusi tertinggi media saat ini agar berjalan linear mengawal proses tersebut.

Selain dua hal diatas, langkah penyetaraan upah layak jurnalis sesuai dengan beban kerjanya juga masih menjadi PR  bersama hingga hari ini yang tidak boleh dilupakan. Tercapainya upah layak bagi insan pers harus terus diperjuangkan oleh Dewan Pers dan seluruh organisasi pers sebagai ‘benang merah’ menuju pers berintegritas, yang kuat secara personal untuk menolak godaan (amplop) serta profesional  dan beretika dalam menjalankan fungsi kontrol sosial di tengah gempuran pragmatisme akhir akhir ini. 

Namun sebagai bagian dari kehidupan pers yang berakulturasi dengan adat ketimuran, tradisi ‘memberi’ dalam rangka menjaga silaturahmi atau sebagai bentuk ikatan emosional antara insan pers dengan lingkungannya, tidak harus serta merta dijustifikasi sebagai bentuk ‘suap’ atau bentuk ‘pelemahan’ fungsi pers sepenuhnya. Karena dibalik itu semua ada nilai kebersamaan dan ikatan silaturrahmi yang harus tetap dijaga dan mestinya tetap terjalin secara terukur, tentunya dengan catatan tidak meminta, tidak memeras, serta tidak memaksa yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada independensi karya jurnalistik mereka, serta berdampak pada tercorengnya marwah pers itu sendiri.  Disini telah menjadi tugas kita bersama untuk mengawal itu.

Pers yang merdeka dan berintegritas adalah pers yang mampu menjaga etika (bekerja berdasarkan kode etik) membawa ruh jurnalisme positif (tidak menerima suap untuk membungkam kebenaran) serta tetap merawat tradisi ketimuran, memiliki empati, memupuk rasa kebersamaan, dan tidak larut dalam budaya individualis dan terkotak kotak dalam kepentingan kapitalisme media  dewasa ini.  

Langkah Memperjuangkan Upah layak, mendorong membayar hak THR oleh pemilik perusahaan media kepada pekerja media, serta menjalankan kode etik secara baik dan benar oleh insan pers, dibalut dengan semangat menjaga tradisi ketimuran kita untuk bersama menjaga marwah pers, merupakan jawaban nyata terbentuknya pers berintegritas dan bermartabat di masa yang akan datang. (*)

*Penulis : Riadis Sulhi (Ketua IJTI NTB)

0 Comments

© Copyright 2022 - Savana News