(savananews.com)
Giri Menang - Gempa tidak putus-putus mengguncang Pulau Lombok sejak tanggal
Ahad 29 Juli dengan 6,4 skala richter (SR) sampai dengan gempa yang lebih besar
lagi di Ahad malam tanggal 5 Agustus dengan kekuatan 7,0 SR.
Dua
gempa yang secara keilmuan dikategorikan sebagai gempa kembar (doublet) terus
diikuti oleh gempa-gempa dalam skala kecil.
Bahkan
saat rilis ini ditulis, Kamis (9/08) gempa dengan kekuatan 6,2 SR kembali
mengguncang Pulau Seribu Masjid ini. Gempa tersebut menjadi pelengkap dari 17
gempa susulan yang dirasakan pasca gempa 7,0 dari 335 kali gempa.
Gempa
kali ini pun dirasakan sudah sangat besar dan membuat orang-orang berhamburan
keluar rumah. Mereka sudah sangat ketakutan. Hasil pantauan di Posko Pengungsi
Depan Kantor Camat Lingsar Lombok Barat (Lobar), beberapa ibu-ibu meneriakkan
kalimat takbir dengan penuh ketakutan.
Seorang
anggota Tim Siaga Bencana Daerah (TSBD) Lobar, Ramli (39 tahun) pun tertimpa
reruntuhan tembok sebuah kios saat istirahat Shalat Zuhur. Ia mengalami
pendarahan di kepala, tangan, dan kaki.
Tidak
berselang lama, kabar kematian pun mengikuti. Setidaknya 3 orang dikabarkan
meninggal karena tertimpa bangunan yang roboh. Mereka atas nama Sarapudin dari
Desa Sigerongan Lingsar, Papuk Fajaryah dari Kapek Desa Gunung Sari dan I Gede
Darma dari Dusun Lilit Barat, Desa Mekar Sari. Ketiga orang tersebut menggenapi
seluruh korban menjadi 30.
Beberapa
bangunan yang awalnya hanya retak kecil mengalami rengkahan. Bahkan atap Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) Mataram yang awalnya hanya bergeser gentengnya, terlihat
atapnya sudah ambruk.
Seorang
warga yang ditemui di sekitar Posko Utama Lobar meyakini, akibat gempa kali ini
pun akan menambah kerusakan rumah penduduk yang sudah terlanjur rusak oleh
gempa-gempa sebelumnya, bahkan menambah jumlah korban. Warga semakin ketakutan.
Mereka lebih memilih mengamankan diri di tenda-tenda darurat.
Terkait
dengan gempa yang terus menerus terjadi, lumpuhnya pemerintahan di Kabupaten
Lombok Utara, jumlah korban dan kerugian materil yang besar, banyak pihak
menyayangkan statemen Menko Polhukkam, Wiranto beberapa waktu lalu.
Wiranto
menegaskan bahwa bencana gempa yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 3
minggu ini, bukan termasuk kategori bencana nasional.
Wiranto
beralasan bahwa Pemerintah Provinsi masih mampu menghadapinya sendiri.
Ketua
Forum Peduli Resiko Bencana Lobar, Sulhan Mukhlis Ibrahim menyayangkan
pandangan tersebut.
"Pemerintahan
di level provinsi betul masih berjalan, namun KLU sudah lumpuh dan Kabupaten/
Kota lainnya di Pulau Lombok sudah tidak normal," ujar pria yang juga
menjabat wakil ketua di DPRD Lobar.
Sulhan
merujuk pada UU. No. 24/2007, maka baginya, bencana gempa bumi di Lombok harus
dikategorikan bencana nasional.
Ia
membandingkan jumlah korban antara gempa Jogja di tahun 2006 tidak menelan
korban sebesar gempa bumi di Lombok. Demikian juga soal lumpuhnya pemerintahan,
Sulhan membandingkannya dengan kasus lumpur lapindo di mana pemerintahan di
Sidoarjo masih berjalan efektif.
"Pemerintah
pusat harus hadir dan memperlakukan setiap warga negaranya secara adil. Jangan
hanya di gempa tahun 2006 (gempa Jogja red) justru mereka secara masif
memperhatikan," ujarnya sengit.
Sulhan
pesimis Pemkab KLU, Lobar, dan Lotim akan mampu menangani masalah bencana ini
secara mandiri tanpa keterlibatan langsung Pemetintah Pusat.
"Kemampuan
fiskal kita rendah," ujarnya.
Bagi
Sulhan, bencana gempa bumi Pulau Lombok harus dinaikkan statusnya menjadi
bencana nasional.
"Jika
ini menjadi bencana nasional, maka
jaminan persedian bantuan sejak masa tanggap darurat, peralihan, sampai
rekonstruksi, bisa disiapkan melalui APBN. Jadi masyarakat di daerah-daerah ini
akan terbantu secara cepat dalam masa recovery," pungkasnya. (*)
0 Comments