Breaking News

Tohri Jadi Potret Pentingnya BPBD


(savananews.com) Giri - Pria kelahiran 5 Januari 1967 ini selalu terlihat di setiap ada bencana. Setia dengan seragam orange-nya, ia nampak selalu hadir di situasi yang penuh dengan kecemasan buat orang lain. Sebaliknya, ia malah tenang, kadang penuh senyum.

Tidak hanya saat Pulau Lombok dilanda bencana gempa bumi yang terjadi sejak akhir Bulan Juli 2018 sampai sekarang, namun ia selalu terdepan saat longsor melanda, banjir dan rob menimpa, serta puting beliung menerpa. Bencana-bencana itu seolah-olah "rajin" hadir  sepanjang akhir tahun 2017 sampai awal 2018 ini. Ayah empat anak itu mengabdikan diri menggauli aneka bencana tersebut.

Haji Tohri namanya. Sudah 7 Kepala SKPD silih berganti, bahkan sejak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lobar terbentuk hampir sepuluh tahun yang lalu, Tohri tetap setia dengan seragam orange menyongsong bencana untuk mengulurkan tangan,  mengurangi beban sesama, dan membantu warga yang tertimpa musibah alam.

Tohri hanya salah satu dari belasan Aparatur Sipil Negara yang bertugas di BPBD Lobar. Seperti dirinya, seluruh jajaran BPBD dan Tim Siaga Bencana Daerah (TSBD) menjadi urat nadi pemerintah dalam menangani secara cepat aneka bencana yang menimpa masyarakat. Mereka tidak peduli dengan waktu kejadian. Mereka pun tidak peduli dengan rengek tangis anak istri/ suami yang bisa jadi sedang tertimpa hal yang sama. Bahkan, mereka sering harus tidak peduli terhadap ketakutan mereka sendiri.

Kehadiran mereka terasa sangat membantu di tengah sedih, kalut, cemas, dan bahkan ketakutan menerpa masyarakat. Seperti saat bencana gempa bumi kali ini, Tohri dan seluruh jajaran orange (termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana/ BNPB) hampir tidak memiliki waktu untuk diri dan keluarganya. Selain turun menyelamatkan, mereka pun ditugaskan menjamin pasokan bantuan buat para korban.

Selain karena tugasnya sebagai Kepala Sub Bidang Logistik, Tohri mengaku bekerja karena "panggilan hati".

"Saya bekerja karena terpanggil membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Di sini saya mendapatkan dunia dan akhirat," akunya sedikit berfilosofi.

Tohri dan jajaran BPBD, bahkan mungkin BNPB yang berdomisili di Pemerintah Pusat, adalah organ penting yang terbentuk berdasarkan UU. No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Terutama pasca Bencana Tsunami Aceh 26 Desember 2004, disadari bahwa perlu ada organ khusus pemerintah yang permanent, tidak add hoc, bahkan setingkat kementerian atau eselon 2 di daerah.

Posisi Tohri dan kawan-kawannya (sebagai personifikasi BPBD dan BNPB) menjadi sangat urgen. Mestinya tidak hanya saat bencana, namun saat me-mitigasi bencana. Artinya, saat mereka mengajarkan masyarakat untuk "bersiap-siap" bila ada bencana, saat mereka mengajarkan management kepanikan, dan saat mereka membuat peta jalur penyelamatan.

Sayangnya, posisi tugas yang ideal itu justru hanya terjebak saat mereka "diharuskan" hanya menangani tanggap darurat bencana saja. Hal itu bisa jadi karena undang-undang itu belum terlalu difahami. Atau bisa jadi justru karena "membekali" BPBD dengan kegiatan dan anggaran yang ideal sama artinya dengan mengundang bencana.
Kepala Subdit Operasi Penyelamatan BNPB,  lukmanul Hakim menyayangkan stereotipe terhadap BPBD yang seperti itu.

"Dalam kondisi seperti ini, BPBD menjadi komando. Tapi dalam kondisi normal, penyiapan sosial menghadapi bencana pun sangat penting," ujarnya suatu ketika saat ditugaskan pimpinannya untuk mendampingi Tohri dan BPBD Lobar.

Lucky, panggilan khas Lukman, memberi point utama terhadap penanganan bencana terletak pada political will pimpinan (nasional atau daerah) serta kesigapan jajaran BPBD (atau bahkan BNPB) dalam berkoordinasi dengan seluruh komponen stake holders dan masyarakat.

"Itu menjadi salah satu kunci penanganan bencana," pungkasnya.

Kondisi geografis gugusan kepulauan Nusantara yang dikelilingi oleh ring of fire, banyaknya gunung aktif, dan "climate change" yang telah menjadi isyu global, mestinya membuat para pemangku kebijakan untuk menoleh pentingnya Tohri dan kawan-kawannya. (baca: BPBD). Mungkin bukan hanya mereka saja, tapi juga termasuk institusi yang "wajib" hadir saat bencana datang.

Bencana tidak pernah hadir dengan diinginkan. Bencana lebih sering datang dengan tiba-tiba. Di saat bencana tidak ada, Tohri tidak mesti dibuat menganggur dengan hanya menunggu, tapi membekali mereka dengan perencanaan,  anggaran dan program yang membuat masyarakat tidak panik, lebih siaga, dan bahkan lebih tangguh saat bencana datang. (*)

0 Comments

© Copyright 2022 - Savana News