Breaking News

Solidaritas Perempuan Kecam Kekerasan Otoritarianisme, Tuntut Negara Bertanggung

Solidaritas Perempuan kritik proyek nasional, kenaikan PPN 12%, dan represi aparat yang menimpa warga sipil.

SAVANANEWS
– Perserikatan Solidaritas Perempuan menyatakan sikap politik menolak praktik kekuasaan otoritarian yang dinilai semakin menindas rakyat, terutama perempuan. Melalui pernyataannya, Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa kekuasaan di Indonesia kini lebih dikendalikan oleh kepentingan politik patriarki, partai politik, dan oligarki, alih-alih berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945.


“Pemerintah Indonesia telah melegitimasi kekuasaan melalui autocratic legalism dan praktik otoritarianisme. Dampaknya bukan hanya kemunduran demokrasi, tetapi juga revisi kebijakan yang semakin merugikan masyarakat,” tegas Solidaritas Perempuan dalam pernyataannya.


Proyek Nasional dan Militerisme Rugikan Perempuan


Solidaritas Perempuan menyoroti pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan berbagai proyek skala besar yang disebut merampas ruang hidup masyarakat. Proyek tersebut dinilai mengabaikan partisipasi bermakna masyarakat, khususnya perempuan, serta mengakibatkan perampasan lahan produktif, penggusuran, perusakan lingkungan, hingga kekerasan aparat di lapangan.


Data lapangan Solidaritas Perempuan menunjukkan proyek investasi kerap melahirkan penindasan berlapis bagi perempuan karena kolaborasi antara negara, oligarki, dan militer untuk mengamankan investasi.


Pajak dan Politik Fiskal Dinilai Membebani Rakyat


Selain itu, Solidaritas Perempuan juga mengkritisi kebijakan fiskal pemerintah yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025. Kenaikan tersebut diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran kelas menengah hingga Rp 4,2 juta per tahun, sekaligus menekan kelompok masyarakat miskin, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan miskin kota.


“PPN yang dibayarkan rakyat justru digunakan untuk proyek pembangunan yang merampas ruang hidup perempuan, seperti Cetak Sawah Rakyat, Makan Bergizi Gratis, dan proyek investasi lainnya,” tulis Solidaritas Perempuan.


Gelombang Protes dan Kematian Affan Kurniawan


Berbagai kebijakan pembangunan yang memiskinkan rakyat dengan pendekatan militeristik, menurut Solidaritas Perempuan, telah memicu gelombang protes di berbagai daerah.


Puncaknya terjadi pada 29 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas setelah dilindas kendaraan aparat saat aksi massa. Solidaritas Perempuan menyebut peristiwa itu sebagai bentuk kekerasan struktural negara yang sistematis, bukan sekadar insiden tunggal.


Tuntutan Solidaritas Perempuan


Dalam sikap politiknya, Solidaritas Perempuan menyampaikan delapan tuntutan, antara lain:


1. Mengecam kekerasan aparat terhadap massa aksi.

2. Menuntut keadilan bagi korban Affan Kurniawan dan keluarganya.

3. Mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan independen atas dugaan pelanggaran HAM serius.

4. Menolak impunitas dan mengadili pelaku pelanggaran HAM.

5. Menuntut negara menjalankan UUD 1945 dengan prinsip HAM dan keadilan gender.

6. Mencabut UU Cipta Kerja, kebijakan fiskal, dan proyek pembangunan yang merugikan rakyat.

7. Mendesak pengesahan UU Perampasan Aset.

8. Menjamin ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat bagi rakyat.


Seruan Aksi Politik Feminist


Solidaritas Perempuan juga menyerukan konsolidasi gerakan politik feminis di berbagai daerah, memperkuat koordinasi dan keamanan internal organisasi, serta menghindari aksi anarkis.


“Terbunuhnya kemanusiaan dan ruang demokrasi membutuhkan kekuatan politik rakyat. Karena itu penting memperluas gerakan politik feminis perempuan di berbagai level,” ujar Solidaritas Perempuan.


Solidaritas Perempuan menegaskan akan terus berjuang bersama perempuan akar rumput di 12 komunitas di seluruh Indonesia untuk melawan kekerasan otoritarianisme, patriarki, dan kapitalisme, demi kedaulatan perempuan atas hidup dan sumber kehidupannya. (Red)

0 Comments

© Copyright 2022 - Savana News