Breaking News

Ketika AI Masuk Kelas: Guru atau Teknologi yang Mengajar?

Edy Supratman

Penulis : Edy Supratman
Afiliasi: Universitas Muhammadiyah Malang, SMPN 3 Lingsar

  Di sebuah ruang kelas di kota menengah Indonesia, seorang guru menatap layar proyektor. Di sana, sebuah sistem adaptif menggunakan algoritme berbasis kecerdasan buatan (AI) menampilkan hasil kesalahan siswa, memperlihatkan pola soal yang sering salah, dan memberi usulan latihan tambahan secara otomatis. 
 Guru tersebut kemudian memilih untuk membagi siswa berdasarkan kelompok yang mendapat jenis latihan berbeda. Prosesnya hanya memakan beberapa menit jauh lebih cepat dibandingkan jika guru secara manual menganalisis lembar jawaban puluhan siswa.
Tapi kemudian timbul keraguan: apakah guru masih memegang posisi utama sebagai pengajar, atau teknologi ini yang kemudian “mengajar”? Dan apakah kita siap menerima perubahan itu?

Peluang yang Nyata
 Perkembangan penggunaan AI dalam pendidikan tidak hanya wacana. Di Indonesia, sejumlah penelitian dan kebijakan sudah mulai menunjukkan tren yang signifikan. Sebagai contoh, artikel “Peranan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dalam Pendidikan” menyebut bahwa “Terdapat dua pendekatan yang dapat diterapkan untuk menerapkan kecerdasan buatan (AI) di lingkungan pendidikan. 
    Pertama, pengalihan tugas guru ke sistem AI. Adanya teknologi pintar yang menyesuaikan konten untuk setiap pembelajar sudah digunakan secara luas di banyak ruang kelas”. Sementara itu, sebuah studi kasus di jurnal internasional “Transformasi Pendidikan di Era AI: Studi Kasus Penggunaan ChatGPT” menampilkan bahwa “sebagian besar mahasiswa memanfaatkan ChatGPT sebagai alat bantu yang sangat berguna”. Kemudian dari sisi kebijakan nasional, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerbitkan buku panduan resmi: “Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence (GenAI) pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi”, yang dirilis 11 Oktober 2024.
       Dalam panduan itu diungkapkan: “Kemajuan Generative AI memberikan peluang baru untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar di perguruan tinggi.”
Sebuah gambaran yang menunjukkan bahwa bukan sekadar hype, tetapi langkah kebijakan mulai diambil.

Studi Lapangan: Antara Potensi dan Realita
  Namun, antara teori dan praktik masih terdapat jurang yang cukup lebar. Sebuah penelitian kualitatif di sekolah dasar (SD) di Indonesia di SDN 2 Lebo menemukan bahwa meski siswa menunjukkan respons positif terhadap penggunaan AI dalam pembelajaran sains (Siswa menganggap bahwa materi pembelajaran yang diajarkan menggunakan teknologi AI lebih menarik dan mudah dipahami) tetap saja terdapat tantangan nyata: infrastruktur terbatas, kompetensi guru belum merata, dan akses data belum stabil. 
  Penelitian lain, “Analisis Kesiapan Pembelajaran Artificial Intelligence pada Jenjang Pendidikan Dasar” menyimpulkan bahwa kesiapan institusi masih rendah, terutama dalam hal kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia. Artinya: meskipun paradigma “AI sebagai tutor” mulai muncul, guru masih memegang peranan krusial dan tantangannya banyak.

Posisi Guru: Dapatkah Digantikan?
     Sering muncul pertanyaan provokatif: apakah suatu hari guru akan digantikan oleh AI? Jawabannya menurut banyak pakar: tidak sepenuhnya. Buku Panduan GenAI menegaskan bahwa penggunaan generative AI harus tetap memperhatikan “integritas akademik … keamanan dan keselamatan kesetaraan dan transparansi” dalam pemanfaatannya. Dengan kata lain: teknologi hanya alat, manusia tetap pemimpin proses. Guru berperan dalam:

• Memilih dan merancang strategi pembelajaran yang tepat (meskipun dibantu AI)
• Menginterpretasi data hasil yang dihasilkan oleh sistem AI
• Melakukan intervensi pedagogis berdasarkan konteks siswa, lingkungan, budaya lokal
• Memastikan bahwa dimensi kemanusiaan (empati, nilai karakter, interaksi langsung) tetap hidup di ruang kelas
 
        Penelitian oleh Mollick & Mollick (2023) yang membedakan tujuh pendekatan AI dalam pembelajaran juga menegaskan bahwa “strategi untuk memanfaatkan AI harus memastikan bahwa siswa tetap menjadi ‘manusia dalam loop’ (human-in-the-loop)”. Jadi, koridor utamanya bukan siapa yang “mengajar”, tetapi bagaimana guru mengajar dengan AI.

Tantangan dan Risiko
  Meski menjanjikan, adopsi AI dalam pendidikan menyimpan beberapa risiko yang perlu diwaspadai:

1. Ketergantungan teknologi siswa atau guru bisa menjadi pasif menunggu sistem yang “mengajar”, bukan aktif berpikir atau merancang pembelajaran.
2. Kesenjangan akses — sekolah di daerah terpencil atau dengan fasilitas terbatas mungkin tidak mampu mengimplementasikan sistem AI, sehingga justru memperlebar kesenjangan pendidikan.
Penelitian “Tantangan dan Peluang Implementasi AI di Sekolah” (2025) menyebut bahwa banyak sekolah menghadapi kendala infrastruktur dan kompetensi guru. 
3. Isu etika dan privasi data siswa, algoritme yang “tak terlihat”, kemungkinan bias dalam output AI. Panduan GenAI menekankan hal ini penting. 
4. Mutu pembelajaran yang tidak otomatis terangkat meski AI bisa memberikan latihan adaptif, tidak menjamin bahwa kemampuan berpikir kritis atau karakter siswa akan berkembang. Teknik pengajaran tetap diperlukan.
5. Penggantian peran guru secara prematur jika sekolah memilih solusi “otomatisasi penuh”, maka bisa terjadi pengurangan peran guru secara profesional dan relasi kemanusiaan berkurang.

Rekomendasi Kebijakan & Praktik
         Untuk mengoptimalkan integrasi AI di kelas tanpa menggusur peran guru, berikut rekomendasi yang bisa diambil oleh pembuat kebijakan dan praktisi pendidikan:
1. Pelatihan guru secara intensif
Pelatihan literasi AI, integrasi pedagogis, dan etika harus menjadi bagian dari program pengembangan profesional guru. Sebuah artikel tentang pelatihan pemanfaatan AI untuk guru di SMA Negeri 1 Sukoharjo menyebut kegiatan ini telah diselenggarakan indikasi bahwa langkah-yang-perlahan berjalan. Guru tidak cukup “diberikan mesin”, mereka harus paham bagaimana mesin itu bekerja, apa outputnya, kapan harus intervensi manusia.
1. Kerangka regulasi dan etika yang jelas
 Panduan resmi GenAI menekankan etika, transparansi, dan privasi. 
Kebijakan di tingkat sekolah/universitas harus menetapkan: siapa yang boleh mengakses data siswa, audit algoritme, transparansi output, hak siswa untuk memilih atau menolak penggunaan AI.
2. Penerapan hybrid: AI sebagai asisten, bukan pengganti
 Sekolah dan guru perlu berkonsep “AI + guru” bukan “guru digantikan AI”. Misalnya: Sistem AI menganalisis hasil tes, guru mendesain pengayaan berdasarkan hasil, kemudian guru melakukan bimbingan kecil/kegiatan diskusi. Penelitian menyebut bahwa “siswa menganggap materi lebih mudah dipahami ketika AI digunakan… tetapi masih diperlukan guru untuk membimbing”. 
3. Pengujian dan evaluasi lokal berbasis bukti
 Sebagai contoh, penelitian “Evaluating Vision-Language and Large Language Models for Automated Student Assessment in Indonesian Classrooms” (2025) menguji model AI pada 14.000 jawaban siswa di enam sekolah Indonesia menunjukkan bahwa walaupun AI punya potensi, akurasi dan relevansi konteks masih terbatas. 
Sekolah/universitas harus melakukan percobaan terbatas (pilot), evaluasi dampak baik hasil belajar, keterlibatan siswa, maupun aspek karakter sebelum skala umum diterapkan.
4. Pastikan akses merata dan infrastruktur memadai
 Kebijakan harus memastikan bahwa sekolah‐sekolah di daerah terpencil atau kurang fasilitas juga mendapat akses, agar teknologi tidak memperlebar jurang pendidikan. Investasi infrastruktur (internet, perangkat) dan subsidi atau kemitraan menjadi kebutuhan.

Contoh Praktik Baik
     Sebagai ilustrasi, di sebuah sekolah menengah, guru menggunakan chatbot berbasis AI sebagai “asisten” untuk latihan quiz dan diskusi ringan. Guru masih memimpin sesi kelas utama, tetapi setelahnya siswa bisa berlatih dengan chatbot yang memberi umpan balik otomatis, lalu guru menindaklanjuti dengan sesi remedi atau pengayaan sesuai kebutuhan hasilnya, waktu remedi berkurang dan siswa merasa lebih percaya diri. Ini menggambarkan model “guru plus teknologi”.

Kesimpulan
      Ketika layar proyektor menyala dan algoritme mulai berbicara di ruang kelas, esensi pengajaran tidak boleh hilang: bimbingan manusia, interaksi sosial, pemikiran kritis, dan nilai karakter. Teknologi boleh masuk kelas bahkan harus tapi guru tetap menjadi arsitek utama pembelajaran. Jika kita memposisikan AI sebagai pengganti guru, kita berisiko kehilangan sisi kemanusiaan pendidikan. Namun bila kita mengubah paradigma menjadi “guru memfasilitasi dengan AI”, maka kita membuka peluang luar biasa: personalisasi pembelajaran, efisiensi lebih tinggi, dan ruang bagi guru menjadi “desainer pengalaman belajar”, bukan sekadar pengulangan rutin.
     Sebagaimana panduan nasional menekankan: integritas akademik, etika, transparansi itu tidak bisa diabaikan. Akhirnya, media massa, pembuat kebijakan, dan praktisi sekolah memiliki tanggung jawab bersama: mewartakan bukan sekadar huruf “AI” di papan kelas, tetapi apa yang berubah dalam relasi guru–siswa–teknologi, dan siapa yang memegang kendali pembelajaran. Jika teknologi digunakan secara bijaksana, maka bukan “guru vs teknologi”, melainkan “guru bersama teknologi menuju pembelajaran lebih manusiawi dan efektif”. (*)

0 Comments

© Copyright 2022 - Savana News