Breaking News

Fenomena Dunia Pendidikan Saat ini : Cerdas Secara Akademik Tapi Gagal Berempati

Ahmad Muzari 
Penulis : Ahmad Muzari 

Afiliasi : Universitas Muhammadiyah Malang

SAVANANEWS - Kecerdasan sering kali dipersepsikan sebagai ukuran utama keberhasilan seseorang. Nilai tinggi, prestasi akademik gemilang, dan kemampuan logika yang kuat dianggap sebagai indikator dari pribadi yang “cerdas”. Namun, di balik semua pencapaian intelektual tersebut, tidak sedikit orang yang justru gagal dalam hal yang lebih mendasar — yakni kemampuan untuk berempati. Fenomena “cerdas secara akademik tapi gagal berempati” bukan lagi hal yang asing di dunia pendidikan maupun kehidupan sosial kita saat ini.

Kecerdasan Akademik yang Tidak Selalu Selaras dengan Kecerdasan Emosional

Menjadi cerdas secara akademik berarti seseorang mampu memahami dan menguasai bidang ilmu tertentu dengan baik. Ia mungkin unggul dalam berhitung, menghafal teori, atau menganalisis masalah kompleks. Namun, kecerdasan semacam ini tidak otomatis membuat seseorang mampu memahami perasaan, situasi, atau kebutuhan orang lain. Banyak siswa, mahasiswa, bahkan profesional berprestasi yang sukses dalam ujian atau kariernya, tetapi gagal membangun hubungan sosial yang sehat karena rendahnya empati.

Psikolog Daniel Goleman menyebut hal ini sebagai ketidakseimbangan antara intelligence quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ). IQ memang penting untuk berpikir logis dan memecahkan masalah, tetapi EQ-lah yang menentukan bagaimana seseorang berinteraksi, memahami, dan menghargai perasaan orang lain. Tanpa empati, kecerdasan akademik hanya menjadi alat yang dingin dan kaku — bahkan berpotensi digunakan untuk hal yang tidak manusiawi.

Contoh Nyata dalam Kehidupan Sehari-hari

Kita bisa melihat contoh nyata dari fenomena ini di lingkungan sekolah maupun dunia kerja. Di sekolah, ada siswa yang selalu mendapatkan peringkat pertama, tetapi bersikap sombong dan merendahkan teman yang nilainya lebih rendah. Ia mungkin tidak bermaksud jahat, tetapi sikapnya mencerminkan kurangnya empati dan kepekaan sosial. Di dunia kerja, ada pegawai yang sangat kompeten dan produktif, namun tidak mampu bekerja sama dalam tim karena merasa dirinya paling benar. Akibatnya, lingkungan kerja menjadi tidak harmonis, dan hasil kerja pun tidak maksimal.

Dalam dunia pendidikan, guru juga sering menghadapi situasi serupa. Ada murid yang cerdas dalam menjawab soal ujian, tetapi tidak mampu memahami perasaan temannya yang sedang kesulitan. Mereka bisa jadi rajin belajar, tetapi abai terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter dan pembelajaran sosial emosional — agar kecerdasan tidak berhenti pada ranah kognitif saja.

Akar Masalah: Sistem Pendidikan dan Budaya Prestasi

Salah satu penyebab utama munculnya individu yang “cerdas tapi gagal berempati” adalah sistem pendidikan yang terlalu menekankan nilai dan peringkat. Sejak dini, anak-anak diajarkan untuk bersaing, bukan berkolaborasi. Nilai ujian menjadi ukuran utama keberhasilan, sementara kemampuan sosial, emosional, dan moral dianggap sekunder. Akibatnya, banyak siswa yang tumbuh dengan pola pikir kompetitif tetapi kurang peka terhadap perasaan orang lain.

Budaya masyarakat juga turut memperkuat hal ini. Orang tua sering kali lebih bangga ketika anaknya juara kelas, tanpa memperhatikan apakah anak tersebut memiliki sikap peduli dan rendah hati. Media pun memuja kecerdasan intelektual sebagai simbol kesuksesan, seolah-olah empati dan kebaikan hati tidak memiliki nilai. Akibatnya, kita menciptakan generasi yang pintar berpikir, tapi miskin rasa.

Dampak dari Kurangnya Empati

Kegagalan berempati tidak hanya berdampak pada hubungan interpersonal, tetapi juga pada struktur sosial secara keseluruhan. Individu yang tidak memiliki empati cenderung egois, sulit menerima kritik, dan lebih mudah menimbulkan konflik. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini bisa melahirkan masyarakat yang cerdas tetapi tidak manusiawi ,masyarakat yang cepat dalam menciptakan teknologi, tetapi lambat dalam menumbuhkan rasa kemanusiaan.

Kita bisa melihat dampaknya di berbagai sektor: akademisi yang tega melakukan plagiarisme demi reputasi, pejabat yang menyalahgunakan ilmu dan kekuasaan, atau profesional yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi. Semuanya adalah contoh nyata dari kecerdasan tanpa empati — kecerdasan yang kehilangan arah moral.

Solusi: Menyeimbangkan Akal dan Hati

Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu menanamkan nilai empati sejak dini. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menumbuhkan hati yang peka dan nurani yang hidup. Sekolah dan universitas perlu menyeimbangkan antara aspek kognitif dan afektif dalam kurikulumnya. Misalnya, dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek sosial, kegiatan kolaboratif, atau program refleksi diri yang mendorong siswa memahami perasaan orang lain.

Selain itu, keluarga memiliki peran yang tidak kalah penting. Orang tua perlu menjadi teladan dalam hal empati dengan mendengarkan anak, menghargai perbedaan pendapat, dan mengajarkan pentingnya menolong tanpa pamrih. Dalam dunia digital yang serba cepat ini, empati juga harus diajarkan dalam konteks penggunaan media sosial, agar generasi muda tidak terjebak dalam sikap apatis atau perundungan daring (cyberbullying).

Kesimpulan

Menjadi cerdas secara akademik adalah anugerah, tetapi menjadi cerdas secara emosional dan berempati adalah kebijaksanaan. Dunia tidak hanya membutuhkan orang-orang yang pandai menghitung dan menganalisis, tetapi juga mereka yang mampu memahami, mendengarkan, dan merasakan. Tanpa empati, kecerdasan hanya akan melahirkan kesombongan intelektual.

Oleh karena itu, mari kita menyeimbangkan antara akal dan hati. Sebab sejatinya, kecerdasan sejati bukan hanya terletak pada seberapa banyak kita tahu, melainkan seberapa dalam kita mampu merasa dan peduli terhadap sesama. Itulah yang menjadikan manusia bukan sekadar makhluk berpikir, tetapi juga makhluk yang berperasaan. (*)

0 Comments

© Copyright 2022 - Savana News