Penulis : Armi Larasati 
Armi Larasati
Afiliasi : Mahasiswa Magister Pedagogi Universitas Muhammadiyah Malang
SAVANANEWS - Kemajuan teknologi pada abad ke-21 telah mengubah wajah pendidikan secara drastis. Proses belajar yang dahulu berlangsung secara tatap muka di ruang kelas kini bergeser menuju ruang digital yang tidak lagi dibatasi oleh tembok maupun jarak geografis.
Melalui perangkat digital, siswa dapat menjelajahi ribuan sumber belajar hanya dalam hitungan detik mulai dari video pembelajaran, jurnal ilmiah, buku elektronik, simulasi laboratorium virtual, hingga platform pembelajaran yang diperkaya dengan kecerdasan buatan.
Namun, di balik kemudahan tersebut muncul kegelisahan baru: apakah pendidikan kita masih memiliki “hati”? Ketika interaksi bergeser dari ruang kelas menuju layar datar, hubungan emosional antara guru dan siswa memudar.
Pendidikan yang seharusnya membentuk karakter, rasa, dan nilai-nilai kemanusiaan terancam berubah menjadi proses mekanistik berbasis sistem digital. Di saat guru menghabiskan waktu berjam-jam menyiapkan modul digital, mengunggah bahan ajar, dan mengelola platform pembelajaran, siswa di sisi lain justru tenggelam dalam layar yang nyaris selalu menemani aktivitas harian mereka. Lambat laun, interaksi manusiawi yang hangat semakin memudar.
Percakapan spontan yang biasanya muncul di sela-sela pembelajaran, tatapan mata penuh perhatian, sentuhan empati, serta bimbingan moral yang seharusnya hadir secara alami kini menjadi semakin jarang.
Teknologi: Antara Kesempatan Besar dan Ancaman yang Terpendam
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi membawa peluang yang sangat besar bagi pembelajaran. Sistem pembelajaran daring membuka akses pendidikan bagi siswa di wilayah terpencil, yang sebelumnya sulit menjangkau layanan pendidikan berkualitas. Kolaborasi antarsekolah lebih mudah dilakukan melalui konferensi virtual, kelas kolaboratif yang menuntut guru harus menyesuaikan dengan tuntutan zaman menciptakan pembelajaran inovatif sebagaimana pernah dijelaskan oleh Yustiadi dan rekan-rekannya pada tahun 2025.
Teknologi memungkinkan belajar dalam skala yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Di samping itu, simulasi digital dan laboratorium virtual memberikan kesempatan bagi siswa untuk bereksperimen secara aman dan fleksibel, tanpa dibatasi fasilitas sekolah.
Namun, di balik peluang tersebut terdapat ancaman yang sering kali tidak terlihat dan terabaikan. Salah satu yang paling mencolok adalah meningkatnya keterasingan sosial. Banyak siswa kini menghabiskan lebih banyak waktu berinteraksi dengan layar daripada dengan orang sekitar. Ketika pembelajaran bergeser ke dunia maya, ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh, dan dinamika emosional yang biasanya membangun kehangatan kelas tradisional menjadi berkurang atau bahkan menghilang sama sekali. Dampaknya, mereka ahli dalam memahami data, tetapi canggung dalam memahami rasa.
Fenomena ini bukan sekadar asumsi. Sebuah penelitian yang dipaparkan oleh Bhagat dan timnya pada tahun 2024 menunjukkan bahwa paparan teknologi berlebihan dapat menurunkan empati, melemahkan keterampilan sosial, dan memperburuk hubungan interpersonal.
Guru yang dulu dikenal sebagai pendamping, inspirator, dan motivator siswa kini sering kali terlihat seperti operator teknologi yang memastikan semua fitur berjalan, sambil mengurangi intensitas interaksi personal dengan siswa. Padahal, sebagaimana pernah ditekankan oleh tokoh pendidikan humanistik Nel Noddings yang pemikirannya diulas kembali oleh Chen dan Shih pada 2025 pendidikan sejati hanya dapat tumbuh melalui hubungan yang saling peduli, saling memahami, dan saling menghargai. Relasi inilah yang menjadi inti pendidikan; jika terhapus atau tergantikan oleh sistem digital, maka hilang pula jiwa pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang Berhati: Menemukan Kembali Nilai Kemanusiaan
Pendidikan yang berhati berarti mengembalikan manusia sebagai pusat dari seluruh proses belajar. Guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi pendamping yang memahami perasaan, kebutuhan, dan potensi peserta didik secara utuh.
Dalam arus digitalisasi yang begitu deras, guru perlu menemukan kembali cara untuk menghadirkan ruang empati, dialog bermakna, dan refleksi personal di tengah pembelajaran. Nilai-nilai seperti rasa syukur, tanggung jawab, kerja sama, dan kepedulian perlu kembali dihidupkan di kelas.
Kurikulum Merdeka sebenarnya memberikan ruang besar untuk itu melalui fleksibilitas pembelajaran yang memungkinkan guru mengembangkan pendekatan yang kontekstual dan bermakna. Konsep pembelajaran berbasis projek, misalnya, menurut laporan riset Tonato Farinango dan koleganya pada 2024, dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan empati sosial sekaligus melatih pemecahan masalah nyata dengan melatih kemampuan komunikasi dan kerja sama.
Gagasan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan sebagai “tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak” kembali terasa relevan. Pendidikan yang berhati menekankan bahwa keberhasilan bukan hanya soal nilai ujian, melainkan juga kedewasaan moral, kelapangan hati, dan kemampuan memahami diri sendiri.
Pentingnya internalisasi filosofi pendidikan menjadi kunci dalam menciptakan profil pelajar yang berbudi pekerti. Prinsip “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang sempat disoroti dalam kajian Rahayuningsih pada 2022 menjadi pedoman yang relevan bagi pendidik untuk menumbuhkan karakter siswa, di mana pendidik berfungsi sebagai teladan, motivator, dan pendukung dalam proses pembelajaran.
Menyeimbangkan Teknologi dan Nurani Guru
Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan tentu tidak dapat dihindari. Namun penggunaan teknologi harus ditempatkan secara seimbang dan tidak menggerus esensi pendidikan itu sendiri. Pendekatan seperti deep learning dan reflective learning dapat digunakan untuk memperkuat perkembangan kognitif sekaligus empati siswa. Selain itu, evaluasi pembelajaran sebaiknya tidak hanya berfokus pada hasil akademik, tetapi juga karaktr, integritas, dan kesadaran diri peserta didik.
World Economic Forum pada tahun 2020 bahkan menegaskan bahwa kemampuan sosial-emosional seperti empati, kerja sama, dan resiliensi adalah kompetensi yang paling dibutuhkan di abad ke-21.
Temuan lain juga memperkuat hal ini. Salah satunya datang dari Zulkifli pada tahun 2025 yang menunjukkan bahwa kecerdasan buatan dapat menjadi pendukung kuat dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik, selaras dengan kebutuhan kompetensi abad modern.
Melalui keseimbangan antara teknologi dan nurani, pendidikan bukan hanya menjadi lebih relevan, tetapi juga tetap mampu memanusiakan manusia. (*)
0 Comments